Senin, 30 Juni 2014
3 Misteri Dibalik Nilai Anak Yang Hancur
Berikut ini adalah artikel yang berfokus
pada pola dan masalah belajar anak. Banyak sekali pertanyaan tentang
hal ini yang muncul di website kami, berkaitan mengenai masalah belajar
anak. Kita akan memahami dan belajar tentang faktor psikologis mengapa
anak bermasalah dengan nilai di sekolah. Sebelum kita lebih jauh
berinteraksi, pahami bahwa nilai atau angka(simbol) bukan satu-satunya
penentu kesuksesan anak kelak di masa depan. Semua yang dialami saat dia
sekolah akan banyak yang tidak digunakan kelak, jadi model pendidikan
apa yang akan digunakan seorang anak hingga dia dewasa dan dapat
diwariskan? Ya, didiklah karakternya dan tanamkan kesuksesan sejak awal
di ladang karakternya.
Kenapa seorang anak ketika belajar di
rumah bisa, diberi soal lebih susah daripada di sekolah juga bisa,
bahkan waktu di tempat les dia diberi latihan soal yang banyak juga
bisa, meskipun soalnya lebih sulit juga bisa, tetapi ketika ulangan
tiba-tiba nilainya jelek. Nah apakah anda pernah punya masalah seperti
ini? Anda yang punya anak SD, pasti sering mengalami masalah-masalah
seperti ini. Anda pasti merasa jengkel ketika mengetahui bahwa anak anda
yang tadi malam belajar sudah bisa semua, tapi ketika ulangan ternyata
ulangannya dapat nilai jelek. Jika ini terjadi sekali dua kali mungkin
anda bisa memakluminya, tapi jika ini terjadi berulang kali, anda pasti
mulai jengkel pada anak anda. Bahkan bisa jadi anda frustasi dan
kemudian malah mengeluarkan kata-kata negatif.
Nah apakah yang terjadi dibalik masalah
ini. Seorang anak yang bisa sewaktu mengerjakan soal di rumah dan
kemudian gagal waktu dia ulangan. Untuk hal-hal yang sama dan itu
berulang kali, maka ada tiga hal yang perlu anda waspadai:
1. Anda perlu curiga bahwa anak ini mengalami kecemasan yang tersembunyi
Anda pasti bertanya nggak mungkin? dia cemas dari mana….kenapa koq dia cemas?
Kecemasan yang tersembunyi ini
disebabkan oleh banyak faktor. Ya, jadi bisa jadi tuntutan yang terlalu
tinggi dari kita orang tua atau mungkin bahkan dari gurunya. Tuntutan
ini tidak bisa membuat si anak menunjukkan kwalitas optimalnya. Sehingga
ketika ulangan,yang terbayang adalah ketakutan bahwa dia tidak bisa
memenuhi tutuntan dari si orang tua. Atau tuntutan dari gurunya mungkin.
Nah anda tahu, Ketika kita itu cemas maka kita tidak bisa berpikir
secara jernih.Anda tentu pernah mengalaminya bukan? ketika anda sedang
cemas, sedang stres berat. Maka hal yang sepele tentunya bisa jadi
terlupakan. Nah ini yang terjadi pada anak-anak kita. Mereka cemas
karena tuntutan kita yang terlalu tinggi,atau keharusan untuk menguasai
sesuatu.
Ketika mereka merasa tidak
mampu,kecemasan itu menghantui pikirannya. Dan apa yang telah mereka
pelajari sebelumnya tiba-tiba “blank”, pada saat ulangan. Ini juga
sering terjadi pada kita. Ingatkah anda pada saat dulu anda kuliah?
Mungkin masih SMA bahkan? Ketika kita ulangan tiba-tiba saja mendadak
lupa akan jawaban yang harus kita tuliskan disana. Padahal tadi malam
jelas-jelas kita sudah belajar, hal tersebut. Nah ketika kita menghadapi
ulangan tiba-tiba saja hilang jawabannya. Apalagi ketika sang guru atau
dosen mengatakan 5 menit lagi anda harus mengumpulkan,dan waktunya
habis. Oke, makin kita paksa akhirnya kita stress dan akhirnya kita
lupa. Dan anehnya ketika kita sudah mengumpulkan lembar jawaban, keluar
dari ruang ujian tiba-tiba jawabannya muncul dalam pikiran kita. “ahh..”
kenapa tidak dari tadi munculnya, anda pasti menggerutu pada diri anda
sendiri. Anda pernah mengalami hal itu bukan?
Nah ini yang terjadi pada anak-anak
kita. Jadi ketika mereka ulangan,maka sebaiknya jangan sampai mereka itu
cemas. Tuntutan – tuntutan kita membuat mereka cemas. karena itu kita
perlu instropeksi diri, apakah selama ini kita sudah menerima mereka apa
adanya. Ya,kebanyakan dari kita berharap agar nilai mereka bagus. Tapi
begitu nilai mereka jelek, kita mulai menuntut mereka. “Kenapa sih nilai
kamu koq jelek?” Jarang sekali ada orang tua yang mengatakan, “oh iya
saya bisa memahami kamu na, Apa yang mama/papa bisa bantu agar lain kali
nilaimu lebih bagus lagi”. Jadi ketika seorang anak mempunyai nilai
jelek, hal yang kita perlu lakukan adalah memahami dulu perasaannya.
Saya yakin anak itupun tidak ingin nilainya jelek, bukan hanya kita.
Diapun juga tidak ingin nilainya jelek tentunya. Tapi kenyataan yang
dihadapi lain.
Ketika nilainya sudah jelek, dia sedih
tetapi kita malah memarahi dia. Dia akan merasa bahwa dirinya tidak
dipahami dan tidak dimengerti. Di lain hari kecemasan itu muncul dalam
dirinya. Dia akan merasa, “aduh kalau saya jelek lagi saya pasti
dimarahi lagi”, “saya pasti mengecewakan mama saya”. Pernah ada satu
kasus dimana seorang anak tidak mau berangkat sekolah gara-gara hari itu
ada ulangan. Dia mengatakan pada mamanya saya takut ma, “kenapa takut?”
Tanya mamanya. “saya takut mengecewakan mama kalau nilai saya jelek”.
Dan ini dilontarkan oleh seorang anak kelas 2 SD. Nah,dari kejadian
tersebut sang mama belajar bahwa selama ini, dia sering berkata “mama
nga masalah dengan nilai mu”. Tetapi kenyataannya dia membuat anaknya
cemas. Jadi terkadang kita sebagai orang tua hanya mengatakan, “nggak..
nilai berapapun saya nggak masalah koq”. Tapi ternyata itu hanya di
mulut saja. kenyataannya si anak merasakan hal yang berbeda, dia
merasakan tuntutan orang tua yang terlalu tinggi.
Nah, untuk masalah ini sebaiknya kita
perlu koreksi diri bagaimana caranya kita menerima seorang anak apa
adanya, tidak tergantung dari nilainya. Ingat sebenernya nilai itu hanya
mengindikasikan dia sudah bisa atau belum.Berbahagialah ketika nilai
anak anda jelek. Karena apa? sekarang anda tahu mana yang dia itu belum
bisa. Pembelajaran yang baik harusnya ditujukan untuk meningkatkan
seorang anak sehingga ia bisa kompeten di dalam bidangnya. Bukan untuk
melabel dia pintar atau bodoh.
2. Sebab yang lain adalah karena perlakuan-perlakuan negatif yang pernah di terima seorang anak bisa di rumah, bisa di sekolah.
Misalnya, ketika
seorang anak nilainya jelek, kemudian kita marah-marahin dia, bahkan
mungkin di hukum. Suruh berdiri di pojok, nggak boleh makan. Atau apapun
yang kita bisa lakukan untuk itu. Nah ketika dia menerima perlakuan
itu,maka perlakuan itu akan membekas di memorinya. Berikutnya ketika dia
ulangan lagi di lain kesempatan maka yang dia liat di lembar soalnya
bukan soal yang harus dibaca, tetapi wajah orang tuanya yang sedang
marah. Wajah ini tiba-tiba saja muncul terbayang di dalam pikirannya.
Anda bisa bayangkan jika kita berhadapan dengan soal ujian dan kemudian
yang muncul adalah ketakutan membayangkan wajah orang tua yang sedang
marah, karena kita tidak bisa. Atau mungkin wajah guru yang memalukan
kita di depan teman-teman kita. Maka semua yang kita pelajari tiba-tiba
saja menjadi hilang dan akhirnya ulangannya jelek.
Baiklah, jika ini terjadi sebaiknya anda
perlu segera minta maaf pada anak anda. Anda cukup mengatakan, “tempo
hari waktu ulangan kamu jelek,dan kemudian papa atau mama marah sama
kamu saat itu perasaan kamu bagaimana?” apapun yang di jawab oleh anak
anda terima apa adanya. Misalkan dia menjawab, Saya takutlah, saya
merasa ini itu apapun itu anda tinggal ngomong “Oke Maaf, papa mungkin
saat itu keceplosan ngomong. Atau mungkin saat itu mama lepas control
sehingga memarahi kamu terlalu dalam. Tapi sebenernya maksud mama sangat
baik. Kamu mau nggak maafin mama? Mama lain kali janji akan mendukung
kamu jika nilai kamu jelek, kita akan cari solusinya sama-sama dan kamu
boleh tanya sama mama bagaimana supaya jadi nilainya baik. Kamu pasti
kepengen nilai kamu juga baik juga kan?” Nah, itu tentunya jauh lebih
baik bagi si anak. Daripada kita hanya sekedar memarahinya, memintanya
belajar, memaksanya belajar tanpa sama sekali mengakui perasaannya untuk
diberi kasih saying dan untuk di terima apa adanya.
3. Sebab yang lain adalah kurangnya perhatian berkualitas.
Mungkin anda bertanya, “ah mana mungkin
saya tidak memperhatikan anak saya”. Betul,saya percaya dan yakin bahwa
setiap orang tua pasti memperhatikan anaknya.Tetapi terkadang perhatian
yang kita berikan itu tidak cocok dengan apa yang diinginkan oleh si
anak, yang saya maksud dengan perhatian di sini adalah perhatian yang
berkuwalitas. Dalam arti kita memperhatikan juga perasaan-perasaan si
anak. Bukan Cuma memperhatikan tugas-tugas yang dia harus slesaikan.
Kebanyakan dari kita hanya memperhatikan tugas –tugas yang harus di
selesaikan oleh seorang anak. Kita hanya memperhatikan kamu sudah
ngerjakan PR belum? kamu sudah belajar belum? pensil kamu sudah diraut
belum? Besok kalau ulangan kamu sudah siapkan pensil atau bolpointnya?
Buku kamu sudah kamu siapin belum? kita hanya memperhatikan aspek-aspek
fisik. Kita tidak memperhatikan aspek-aspek perasaan dari si anak.
Padahal yang jauh lebih
dibutuhkanseorang anak adalah perhatian akan perasaan-perasaannya
sehingga dia bener-bener di terima secara utuh oleh orang tuanya. Anda
bisa memberikan perhatian berkuwalitas ini dengan lebih baik, dengan
cara membaca artikel saya yang berjudul “Pentingnya Memahami Kebutuhan
Emosional Anak”. Itu adalah salah satu cara terbaik untuk memberikan
perhatian berkualitas pada anak Anda.
Mewujudkan Pendidikan Karakter Yang Berkualitas
Dalam tataran teori, pendidikan karakter
sangat menjanjikan bagi menjawab persoalan pendidikan di Indonesia.
Namun dalam tataran praktik, seringkali terjadi bias dalam penerapannya.
Tetapi sebagai sebuah upaya, pendidikan karakter haruslah sebuah
program yang terukur pencapaiannya. Bicara mengenai pengukuran artinya
harus ada alat ukurnya, kalo alat ukur pendidikan matematika jelas,
kasih soal ujian jika nilainya diatas strandard kelulusan artinya dia
bisa. Nah, bagaimana dengan pendidikan karakter?
Jika diberi soal mengenai pendidikan
karakter maka soal tersebut tidak benar-benar mengukur keadaan
sebenarnya. Misalnya, jika anda bertemu orang yang tersesat ditengah
jalan dan tidak memiliki uang untuk melanjutkan perjalananya apa yang
anda lakukan? Untuk hasil nilai ujian yang baik maka jawabannya adalah
menolong orang tersebut, entah memberikan uang ataupun mengantarnya ke
tujuannya. Pertanyaan saya, apabila hal ini benar-benar terjadi apakah
akan terjadi seperti teorinya? Seperti jawaban ujian? Lalu apa alat ukur
pendidikan karakter? Observasi atau pengamatan yang disertai dengan
indikator perilaku yang dikehendaki. Misalnya, mengamati seorang siswa
di kelas selama pelajaran tertentu, tentunya siswa tersebut tidak tahu
saat dia sedang di observasi. Nah, kita dapat menentukan indikator jika
dia memiliki perilaku yang baik saat guru menjelaskan, anggaplah
mendengarkan dengan seksama, tidak ribut dan adanya catatan yang
lengkap. Mudah bukan? Dan ini harus dibandingkan dengan beberapa
situasi, bukan hanya didalam kelas saja. Ada banyak cara untuk mengukur
hal ini, gunakan kreativitas anda serta kerendahan hati untuk belajar
lebih maksimal agar pengukuran ini lebih sempurna.
Membentuk siswa yang berkarakter bukan
suatu upaya mudah dan cepat. Hal tersebut memerlukan upaya terus menerus
dan refleksi mendalam untuk membuat rentetan Moral Choice
(keputusan moral) yang harus ditindaklanjuti dengan aksi nyata, sehingga
menjadi hal yang praktis dan reflektif. Diperlukan sejumlah waktu untuk
membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak atau
tabiat seseorang. Menurut Helen Keller (manusia buta-tuli pertama yang
lulus cum laude dari Radcliffe College di tahun 1904) “Character
cannot be develop in ease and quite. Only through experience of trial
and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition
inspired, and success achieved”.
Selain itu pencanangan pendidikan
karakter tentunya dimaksudkan untuk menjadi salah satu jawaban terhadap
beragam persoalan bangsa yang saat ini banyak dilihat, didengar dan
dirasakan, yang mana banyak persoalan muncul yang di indentifikasi
bersumber dari gagalnya pendidikan dalam menyuntikkan nilai-nilai moral
terhadap peserta didiknya. Hal ini tentunya sangat tepat, karena tujuan
pendidikan bukan hanya melahirkan insan yang cerdas, namun juga
menciptakan insan yang berkarakter kuat. Seperti yang dikatakan Dr.
Martin Luther King, yakni “intelligence plus character that is the goal of true education” (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk
merealisasikan pendidikan karakter di sekolah. Konsep karakter tidak
cukup dijadikan sebagai suatu poin dalam silabus dan rencana pelaksanaan
pembelajaran di sekolah, namun harus lebih dari itu, dijalankan dan
dipraktekan. Mulailah dengan belajar taat dengan peraturan sekolah, dan
tegakkan itu secara disiplin. Sekolah harus menjadikan pendidikan
karakter sebagai sebuah tatanan nilai yang berkembang dengan baik di
sekolah yang diwujudkan dalam contoh dan seruan nyata yang
dipertontonkan oleh tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah dalam
keseharian kegiatan di sekolah.
Di sisi lain, pendidikan karakter
merupakan upaya yang harus melibatkan semua pemangku kepentingan dalam
pendidikan, baik pihak keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah dan juga
masyarakat luas. Oleh karena itu, langkah awal yang perlu dilakukan
adalah membangun kembali kemitraan dan jejaring pendidikan yang
kelihatannya mulai terputus diantara ketiga stakeholders terdekat dalam
lingkungan sekolah yaitu guru, keluarga dan masyarakat. Pembentukan dan
pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara stakeholder
lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan. Dengan
demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan
pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan yang
kemudian didukung oleh lingkungan dan kondisi pembelajaran di sekolah
yang memperkuat siklus pembentukan tersebut. Di samping itu tidak kalah
pentingnya pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat
mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan
masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman
nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais
Shihab (1996; 321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang
dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara
keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada kini
dan disini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama.
Ingin mewujudkan pendidikan karakter
yang berkualitas? Maka kuncinya sudah dipaparkan diatas, ada alat ukur
yang benar sehingga ada evaluasi dan tahu apa yang harus diperbaiki,
adanya tiga komponen penting (guru, keluarga dan masyarakat) dalam upaya
merelaisasikan pendidikan karakter berlangsung secara nyata bukan hanya
wacana saja tanpa aksi. Ingat, Pendidikan karakter melalui sekolah,
tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tetapi lebih dari
itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti
yang luhur. Dan yang terpenting adalah praktekan setelah informasi
tersebut di berikan dan lakukan dengan disiplin oleh setiap elemen
sekolah.
Langganan:
Postingan (Atom)