Rabu, 23 Juli 2014

Cara Mengatasi dan menangani Konflik Berorganisasi

Kemampuan untuk menghadapi dan menangani konflik adalah salah satu kunci sukses manajerial dalam satu organisasi. Kapan saja kita berharap membuat perubahan, pasti ada potensi terjadinya konflik. Lagipula, kita tidak hanya harus menangani situasi dimana konflik antara diri kita sendiri dan satu atau lebih anggota staff lainnya, tetapi juga terhadap waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan konflik atas diri kita atau, yang tersulit dari semuanya, untuk meletakkan arah tujuan di antara ladang “perpolitikan” dimana dua dari pesaing kita atau atasan kita terjebak dalam pergumulan ini. Konflik, dalam arti sebenarnya, merupakan suatu perbedaan pendapat yang terjadi dari kemungkinan dua atau lebih arah tujuan dan tindakan yang tidak hanya tidak dapat dihindari tapi juga sebagai suatu hal yang patut diperhitungkan dalam hidup. Yang justru membantu kemungkinan-kemungkinan yang berbeda yang sudah direncanakan sebagaimana mestinya, dan kemungkinan tujuan tindakan lainnya yang mungkin diartikan secara umum dari beberapa pilihan tindakan yang sudah diuji pada tahap awal sebelumnya atau bahkan sudah didiskusikan terlebih dahulu dari beberapa tindakan alternatif yang sudah dikenal. Kebanyakan konflik memiliki dua komponen yaitu rasional dan emosional, dan terletak di suatu tempat di sepanjang dua gambaran antara konflik kepentingan di satu sisi dan bentrokan kepribadian di sisi lain. Contohnya, ketika seorang penjual rumah mencari harga tertinggi, sementara pembeli berharap bisa membayar serendah mungkin.Ada juga gambaran konflik kepentingan antara atasan dan karyawan tentang gaji. Dari kedua contoh kasus konflik di atas, adalah dari kedua belah pihak untuk menyelesaikan konflik – sebaliknya, jika tidak, pihak pertama, pasti tidak akan tercapai target penjualan yang diinginkan dan pasti juga tidak akan terjadi titik temu pada pihak kedua. Agar dapat terjadi solusi negosiasi yang sesuai dan yang diinginkan, maka: 1. Mendengarkan dan memahami dari masing-masing kebutuhan (jangan buang-buang waktu mengulang-ulang sudut pandang anda) – belajar untuk jujur – apa adanya. 2. Cari pertukaran; misalnya, adakah sesuatu yang bisa saya alihkan atau serahkan kepada pihak lain yang artinya lebih pada pihak mereka daripada “memberatkan “(membebani )diri sendiri? 3. Fokus pada isu dan kenyataan, serta hindari menilai konflik sebagai sesuatu yang terlalu pribadi. Namun, itu semua terlalu mudah bagi keinginan emosional untuk'mengalahkan perusak' pikiran menyelinap masuk dan, setelah itu, mungkin juga menyebar dari satu pihak ke pihak yang lain. Beberapa konflik berakar pada kepribadian para ‘kontestan', misalnya, seorang introvert (tertutup) mungkin membenci perilaku flamboyan seorang ekstrovert (terbuka); atau dua wakil kepala perusahaan dengan gaya manajemen yang berbeda mungkin merasa sulit untuk bisa saling bekerja sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar